Di sebelah utara
angin kepanasan berkeringat air dan debu
lari ketakutan
di ujung timur
matahari enggan tampil dari panggung yang sama setiap jam lima
kiranya ia terbit dari barat
sinarnya akan menghijau emas
bukannya tua coklat
di tepi samudera
besi jadi karang
karang jadi pajangan
untung tanah masih jadi sandaran
Malam menguap dingin menyergap tirai-tirai kusut merayap mendekat Bau abu pada langit biru turun dan membusuk pada pipi Di luar laut beriak tak tenang Seakan meneriakkan kegeraman Pada malam yang tak kunjung selesai dan ombak yang menikmati pasang Ialah tubuh yang lemas dan tinggal dikemas yang sembunyi di balik kelambu nelangsa pada malam Jumat pada tubuh yang terbujur kaku itu ia tak bisa bermunajat pada keringnya musim dan ikan-ikan yang tak segan jadi umpan Anak-anaknya telah pergi, entah jadi apa, mungkin saja TKI dan ia hanya tertinggal sebagai pipi-pipi yang berkerut menghitam legam terpanggang, kecut
Lama aku tak melihat kunang-kunang
sekumpulan,bersayap, dan terbang
Berjalan-jalan untuk menghidupkan kembali kota
dari malam dan kemalangan
Mereka masih ada, hanya sembunyi dan tak hilang
Aku percaya mereka akan kembali
membawakan cahaya-cahaya kecil penerang mimpi
Jika kota telah hilang
dan desa mati lampu
dan semua orang berubah menjadi sendu
Ia akan datang
Jika semua orang rindu
pada kunang-kunang
Malam ini ia berdoa
tiga puluh menit sebelum tidur dan esok datang
menjemput masa masa yang tidak terduga
Malam ini ia bercerita kepada Tuhannya
tentang anak-anak domba yang tak habis-habisnya mati dimakan penyakit
dan induknya yang tinggal seorang saja tanpa pendamping usia
tentang kesatria berkuda yang berwarna cokelat muda
yang lupa menjemput putri raja
tentang negara republik dan negara raja
yang jelas-jelas berbeda
dan demokrasi kini mengubah segalanya
yang kaya semakin kaya
dan pemilik sengsara tetap pada tempatnya
'Negara bukan kapitalisme'
kataku diantara embekan suara domba
Ia ingin tidur
tapi ia tak tega
meninggalkan hari
tanpa melakukan apa-apa
Malam ini ia berdoa kepada Tuhannya
semoga hari esok tetap ada...
Aku melihatmu sebagai bulan,
penuh
Meski tersisa sebagai sabit
dan cahaya palsu
Aku mendengarmu sebagai riuh,
yang pecah dalam keheningan
dan berlari pelan
Aku menangkap rindu
dan membisikkannya dalam senyap suara
sebuah pesan berwujud rasa
Aku menggenggammu seperti angin,
yang menari halus dalam tangan
menyusup dari balik jemari dan
menerobos keluar,
Kamu lepas
tak tertangkap
Kamu bebas
tak tersentuh
dan
Akan kuceritakan padamu tentang pria berbaju tentara
yang sedang merangkul kemudi erat-erat
yang kayuhnya tak sempat berlari
yang ditempa sengatan matahari dan tak mampu menolaknya
yang mengerti bahwa nasib adalah karunia
Ia bukan siapa-siapa
hanya tukang becak yang berbaju tentara
yang terus mengayuh
agar tetap hidup
Aku dikalahkan setan Terbangun kala matahari datang menantang meski sedikit malu-malu bersembunyi di balik tiang Sedang jam dinding satu menit lalu telah memakan angka delapan
Pagi ini kepalaku dirantai setan
Tidur dalam kelelapan
Ketika matahari berumur sedemikian jam aku gelagapan dan, bukannya aku marah, namun lantas terdiam dan tiba-tiba menyadari kesempatanku telah melebur, menghilang bersama hari yang siang
Minggu
lalu saya mengikuti kegiatan menjelajahi Karst Citatah, Padalarang, Bandung
yang diadakan Himpunan Mahasiswa Geologi ITB. Keputusan saya untuk mengikuti
perjalanan tersebut adalah selain untuk menyambung ikatan saya dengan alam agar
tidak samar-samar kemudian hilang adalah untuk membuktikan pernyataan dosen
saya bahwa ‘Dulu Bandung adalah laut’.
Saya percaya tidak percaya dengan statement
tersebut. Setengah percaya karena beliau adalah dosen senior yang mengetahui
seluk beluk bumi. Setengah tidak percaya karena saya belum membuktikan bahwa
cerita itu benar adanya dan dapat diyakini sebagai fakta. Setelah membaca
tulisan di bawah, Anda dapat turut menyimpulkan apakan Bandung dulu memang laut
atau bukan.
Perjalanan
dimulai dari Gunung Hawu, yang menurut jenis batuannya merupakan jenis gunung
kapur. Adanya gunung kapur dapat dijadikan argument untuk mendukung pernyataan
bahwa dulu Bandung adalah laut. Mengapa? Gunung kapur atau secara lebih umum,
gunung yang penyusunnya merupakan batuan karbonat kemungkinan besar terbentuk
di laut walaupun ada kemungkinan juga terbentuk di darat. Jadi beberapa juta
tahun lalu kota yang kita tempati sekarang ini bisa dikatakan rumah ikan purba.
Sedangkan nama
‘Hawu’ sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti tungku. Penamaan Hawu yang
dilakukan oleh masyarakat setempat dimaksudkan untuk memvisualkan bentuk gunung
yang seperti tungku tersebut ke dalam bahasa agar dengan hanya mengetahui namanya, orang-orang tahu bentuk gunung Hawu. Layaknya tungku, gunung ini
mempunyai dua lubang yaitu lubang untuk ‘memasukkan kayu’ dan tempat ‘keluarnya
api untuk memasak’.
Pada awalnya gunung tersebut berbentuk seperti gunung
biasa, kerucut tumpul di bagian atasnya. Namun, ketika hujan datang, tetesan
air tersebut dapat bertingkah ‘agresif’ terlebih lagi bila mengandung
karbondioksida. Dengan begitu, terjadilah reaksi kimia antara air,
karbondioksida, dan asam karbonat yang terkandung dalam gunung kapur sehingga
akan membentuk lubang bagian atas gunung karena menggerus unsur karbonat dalam gunung. Proses karstifikasi tersebut terjadi
seterusnya hingga lubang di atas gunung menjalar kemudian menjadi lubang baru
di bagian samping gunung.
Gunung Hawu
Goa Pabeasan Setelah
melihat dengan kacamata sendiri dan ternyata penamaan tersebut memang bermakna, perjalanan dilanjutkan menuju Goa Pabeasan
yang terletak tidak terlalu jauh dari Gunung Hawu, karena memang masih satu
kompleks Kars Citatah. Seperti goa pada umumnya, disini banyak terdapat
stalaktit dan stalagmite di mulut-mulut goa.
Nama Pa-beas-an masih berasal dari
bahasa Sunda yang berarti tempat beras. Tidak jauh dari goa Pabeasan, saya
melihat beberapa beberapa pemanjat tebing yang tanpa ragu-ragu memanjat semakin
tinggi ke puncak tebing. Saya pikir mereka juga seperti saya, membuktikan sesuatu, namun apa, yang jelas berbeda. Mungkin tingkat strees batuan atau yang lain saya tidak tahu.
Kembali lagi soal goa, adanya
goa bisa menjadi argumen kedua untuk mendukung pernyataan bahwa Bandung pernah
menjadi laut. Karena goa merupakan hasil pelarutan batuan-batuan karbonat, dan
bila air mengalir di batuan karbonat dapat melarutkannya sehingga dapat
terbentuk stalaktit atau stalagmite.
Berbicara mengenai Bandung dan laut, saya teringat ulasan singkat di Kompas beberapa hari yang lalu. Ternyata menurut cerita yang beredar di masyarakat, dulu Bandung merupakan sebuah danau besar, dan nama Bandung sendiri berasal dari kata bendung. Bendung yang merupakan penggalan dari kata bendungan diambil untuk penamaan kota ini karena Bandung diapit oleh gunung-gunung yang menjadikannya cekungan atau seakan-akan sebuah bendungan.
Tujuan
ketiga yakni Stone Garden. Stone garden merupakan 'taman batu' karena di perbukitan ini terdapat hamparan batu yang jumlahnya tiada terhitung. Batu-batu tersebut bukan hanya batu biasa,
menurut penuturan interpreter di kegiatan jelajah alam ini batu-batu purba tersebut merupakan koral setelah dilihat dari ciri-cirinya .Bukti keberadaan koral
tersebut merupakan bukti terkuat untuk mendukung ‘cerita’ dosen saya. Karena,
kita semua tahu asal-usul koral adalah dari laut.
Stone Garden
Sejauh
mata memandang, yang saya temukan adalah hamparan batu-batu purba memenuhi
Stone Garden, namun ketika mata saya menemukan satu titik di mana titik
tersebut sangat berbeda dengan sekitarnya. Titik tersebut hitam dan menggumpal
semakin besar menjadi kepulan asap. Sebentar kemudian, di kepala saya juga ikut
muncul kepulan hitam, bedanya ini asap keprihatinan.
Asap
tersebut merupakan pembakaran batu gamping yang digunakan untuk industry cat
tembok, sebagaimana diketahui bahwa batu kapur merupakan salah satu bahan utama pembuatan cat
tembok, karena kandungannya.
Ironi
memang, keberadaan alam memang disediakan untuk kemakmuran manusia, tetapi
justru manusia (secara egois) ingin menguasai kemakmuran untuk dirinya sendiri.
Kontradiksi memang, manusia membutuhkan dan alam menyediakan. Lantas, mengapa
tidak mengambil saja?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas memang sulit dijawab. Siapa pun yang berusaha menjawab bisa jadi tidak
menemukan jawaban yang diharapkan. Atau pihak-pihak yang berada di baliknya
akan dengan sangat yakin menjawab bahwa kegiatan penambangan tersebut sangat
berguna untuk pembangunan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hati nurani
kita ingin teriak bahwa kita masih ingin tetap hidup bersandingan dengan alam.
Perjalanan
yang memakan waktu setengah hari itu menunjukkan pada saya bahwa manusia telah
dengan sendirinya berusaha menjauh dari alam. Manusia sibuk dengan berbagai kegiatannya
tanpa mengetahui manfaat eksistensi alam untuk keberlansungan hidup semua yang
hidup di bumi.
Sepulang dari perjalanan saya lantas menyimpulkan, alam bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tak dapat hidup tanpa alam. Dan satu lagi konklusi penting. Dulu Bandung adalah laut !