Rabu, 21 November 2012

SEMANGKOK MERAH DARAH

Analisis Deret
Pada hujan yang turun seperti remah-remah
dan bulan yang sedang murung
ada semangkok merah darah yang tumpah
di dalam keranjang
mengerling kepadaku dan berkata
ilusi akan segera berlalu

Dan setelah hujan turun seperti remah-remah
tak ada pelangi ikut turun
tak ada warna
tak merah, hijau, dan nila

Dongeng jangan kau jungkir balik
jadi cerita kataku
Karena tumpah, selamanya tumpah
biarpun tanpa penghormatan
Sungai pun tersedak dalam riak
dan bau amis dari semangkok merah darah
aromanya menggoda penadah
untuk berseru
takkan ada lagi janji pada hari yang telah menyerah

ADA PENCURI DI KERETA API

Analisis Deret
Di gerbong kereta api seorang pencuri berlari
dan orang-orang mengutuk
Di tebing teluk
surya terasa menggantung
dan senja terkantuk

Seorang opsir tak peduli dan orang-orang bertanya
Mengapa ia tak ikut berlari
Atau sekadar bergumam
hari akan menenggelamkan lokomotif kereta yang mati
Membawa rel-rel yang enggan bersama tapi selalu berdua
untuk kembali
dan kembali menenggelamkannya
di tempat ia mampu berpisah sekaligus bersua dengan pagi

Ketika jam kehilangan detik kelima
Dan orang-orang terpana oleh suasana
Seorang penjual rokok dan korek api berkelakar
dinding-dinding kereta sedang menyaksikan manusia
Yang miskin harta
Mencuri ideologi
Agar ia tak cepat mati

Jauh dari gerbong utara kereta api
Tak ada yang tahu,
Pencuri menukar ideologi dengan sesuap nasi

Kamis, 08 November 2012

KESAKSIAN



Tak ada yang merdu dari suara beton yang bisu
Tapi ada kesaksian
Pada yang hidup yang pernah singgah
Beberapa telah punah
Membawa abu
Terkubur debu

Dan aku kini masih membujur kaku
Menyaksikan langkah orang-orang yang terseret
Kadang bisa jadi merdu
Atau justru buta dan tak laku

Pada sebuah beton yang upacara di seberang tiang bendera
Daun gugur menghormati
Kesaksian
Yang terkubur dalam ingatan dan masa

Menjelang senja, orang-orang tak peduli tentang sebuah beton yang tak memiliki nama

Mata Angin

Di sebelah utara
angin kepanasan berkeringat air dan debu
lari ketakutan
di ujung timur
matahari enggan tampil dari panggung yang sama setiap jam lima
kiranya ia terbit dari barat
sinarnya akan menghijau emas
bukannya tua coklat
di tepi samudera
besi jadi karang
karang jadi pajangan
untung tanah masih jadi sandaran


Mala-ria

orang-orang ada
dan aku entah kemana
tak ada mala

orang-orang entah kemana
dan aku ada
sebuah petaka


Minggu, 07 Oktober 2012

Tujuh Hari Sebelum Ia Kembali


Tujuh hari sebelum ia kembali
langit pucat
burung-burung bangau berlari
melihat gemertak petir yang pekat

Sedangkan di tengah laut ia bergumam "Andai aku tak perlu kembali ke darat..."


Tujuh hari sebelum ia kembali
angin bersetubuh dengan tanah

Kini udara pecah
cuacaterbelah
dan matahari kecewa
pada persetubuhan angin yang fana

Ia yang pergi  dengan deru mesin perahu
hanya mengetarakan urat
tanpa bisa teriak lebih hebat dari kecapi kayu


Jumat, 05 Oktober 2012

YANG SEMBUNYI DI BALIK KELAMBU



Malam menguap
dingin menyergap
tirai-tirai kusut merayap mendekat

Bau abu pada langit biru
turun dan membusuk pada pipi

Di luar laut beriak tak tenang
Seakan meneriakkan kegeraman
Pada malam yang tak kunjung selesai
dan ombak yang menikmati pasang

Ialah tubuh yang lemas
dan tinggal dikemas
yang sembunyi di balik kelambu
nelangsa pada malam Jumat

pada tubuh yang terbujur kaku itu
ia tak bisa bermunajat
pada keringnya musim
dan ikan-ikan yang tak segan jadi umpan

Anak-anaknya telah pergi,
entah jadi apa,
mungkin saja TKI

dan ia hanya tertinggal sebagai pipi-pipi yang berkerut
menghitam
legam
terpanggang, kecut


 

Minggu, 30 September 2012

Kunang-Kunang

Lama aku tak melihat kunang-kunang
sekumpulan,bersayap, dan terbang
Berjalan-jalan untuk menghidupkan kembali kota
dari malam dan kemalangan

Mereka masih ada, hanya sembunyi dan tak hilang
Aku percaya mereka akan kembali
membawakan cahaya-cahaya kecil penerang mimpi
Jika kota telah hilang
dan desa mati lampu
dan semua orang berubah menjadi sendu
Ia akan datang
Jika semua orang rindu
pada kunang-kunang

Sabtu, 29 September 2012

Doa



Malam ini ia berdoa
tiga puluh menit sebelum tidur dan esok datang
menjemput masa masa yang tidak terduga

Malam ini ia bercerita kepada Tuhannya
tentang anak-anak domba yang tak habis-habisnya mati dimakan penyakit
dan induknya yang tinggal seorang saja tanpa pendamping usia


tentang kesatria berkuda yang berwarna cokelat muda
yang lupa menjemput putri raja

tentang negara republik dan negara raja
yang jelas-jelas berbeda
dan demokrasi kini mengubah segalanya
yang kaya semakin kaya
dan pemilik sengsara tetap pada tempatnya
'Negara bukan kapitalisme'
kataku diantara embekan suara domba
 
Ia ingin tidur
tapi ia tak tega
meninggalkan hari
tanpa melakukan apa-apa

Malam ini ia berdoa kepada Tuhannya
semoga hari esok tetap ada...











Selasa, 25 September 2012

TAK TERSENTUH



By : Albert Caesar Pasaribu and me

Aku melihatmu sebagai bulan,
penuh
Meski tersisa sebagai sabit
dan cahaya palsu

Aku mendengarmu sebagai riuh,
yang pecah dalam keheningan
dan berlari pelan

Aku menangkap rindu
dan membisikkannya dalam senyap suara
sebuah pesan berwujud rasa


Aku menggenggammu seperti angin,
yang menari halus dalam tangan
menyusup dari balik jemari dan menerobos keluar,
Kamu lepas
tak tertangkap  
Kamu bebas
tak tersentuh
dan


hilang......

Sabtu, 22 September 2012

PRIA BERBAJU TENTARA

Akan kuceritakan padamu tentang pria berbaju tentara
yang sedang merangkul kemudi erat-erat
yang kayuhnya tak sempat berlari
yang ditempa sengatan matahari dan tak mampu menolaknya
yang mengerti bahwa nasib adalah karunia

Ia bukan siapa-siapa
hanya tukang becak yang berbaju tentara
yang terus mengayuh
agar tetap hidup

Rabu, 19 September 2012

SAJAK ALAS KAKI


Barangkali kaki
namun hanya seberkas telapak saja

Diinjak
bukan karena tak sengaja terinjak

Menipis
seiring terlalu lama dikikis
oleh masa dan tanah
seakan mendapat tekanan atas bawah

Kemarin dia menggugat
meminta kenaikan derajat

Oleh empunya dia dinaikkan beberapa mili

Sejak itu ia merasa tinggi
meski sesungguhnya dia tak mendapat apa-apa
selain tetap berada di bawah

Empat

Sepasang mata dan alis


Ujung salib

Jempol terlipat satu

Ketika matahari sejajar garis pandang dan berapi

Saat jingga bermekaran di langit barat menunggu senja

Dan hari-hari memahami esensi mengapa aku ada

LAMPU NEON

Terang
Benderang
Meski tak semegah bintang

Kuning mesra
seakan melambai memanggil bagi yang menggigil
untuk bercerita tentang kehangatan cahaya

Malam datang
Malam menghilang

Kini pesonanya meredup
dan tak dapat bicara
hanya mampu bercakap-cakap
lewat cahaya dan rasa

Kamis, 13 September 2012

Kesiangan

Aku dikalahkan setan
Terbangun kala matahari datang menantang
meski sedikit malu-malu bersembunyi di balik tiang
Sedang jam dinding satu menit lalu telah memakan angka delapan

Pagi ini kepalaku dirantai setan

Tidur dalam kelelapan 

Ketika matahari berumur sedemikian jam
aku gelagapan
dan,
bukannya aku marah, namun lantas terdiam
dan tiba-tiba menyadari 
kesempatanku telah melebur, menghilang
bersama hari yang siang



JELAJAH BEKAS LAUT



Minggu lalu saya mengikuti kegiatan menjelajahi Karst Citatah, Padalarang, Bandung yang diadakan Himpunan Mahasiswa Geologi ITB. Keputusan saya untuk mengikuti perjalanan tersebut adalah selain untuk menyambung ikatan saya dengan alam agar tidak samar-samar kemudian hilang adalah untuk membuktikan pernyataan dosen saya bahwa ‘Dulu Bandung adalah laut’. 

Saya percaya tidak percaya dengan statement tersebut. Setengah percaya karena beliau adalah dosen senior yang mengetahui seluk beluk bumi. Setengah tidak percaya karena saya belum membuktikan bahwa cerita itu benar adanya dan dapat diyakini sebagai fakta. Setelah membaca tulisan di bawah, Anda dapat turut menyimpulkan apakan Bandung dulu memang laut atau bukan.


Perjalanan dimulai dari Gunung Hawu, yang menurut jenis batuannya merupakan jenis gunung kapur. Adanya gunung kapur dapat dijadikan argument untuk mendukung pernyataan bahwa dulu Bandung adalah laut. Mengapa? Gunung kapur atau secara lebih umum, gunung yang penyusunnya merupakan batuan karbonat kemungkinan besar terbentuk di laut walaupun ada kemungkinan juga terbentuk di darat. Jadi beberapa juta tahun lalu kota yang kita tempati sekarang ini bisa dikatakan rumah ikan purba.


Sedangkan nama ‘Hawu’ sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti tungku. Penamaan Hawu yang dilakukan oleh masyarakat setempat dimaksudkan untuk memvisualkan bentuk gunung yang seperti tungku tersebut ke dalam bahasa agar dengan hanya mengetahui namanya, orang-orang tahu bentuk gunung Hawu. Layaknya tungku, gunung ini mempunyai dua lubang yaitu lubang untuk ‘memasukkan kayu’ dan tempat ‘keluarnya api untuk memasak’. 

Pada awalnya gunung tersebut berbentuk seperti gunung biasa, kerucut tumpul di bagian atasnya. Namun, ketika hujan datang, tetesan air tersebut dapat bertingkah ‘agresif’ terlebih lagi bila mengandung karbondioksida. Dengan begitu, terjadilah reaksi kimia antara air, karbondioksida, dan asam karbonat yang terkandung dalam gunung kapur sehingga akan membentuk lubang bagian atas gunung karena menggerus unsur karbonat dalam gunung. Proses karstifikasi tersebut terjadi seterusnya hingga lubang di atas gunung menjalar kemudian menjadi lubang baru di bagian samping gunung. 







 Gunung Hawu




                                                         Goa Pabeasan

Setelah melihat dengan kacamata sendiri dan ternyata penamaan tersebut memang bermakna, perjalanan dilanjutkan menuju Goa Pabeasan yang terletak tidak terlalu jauh dari Gunung Hawu, karena memang masih satu kompleks Kars Citatah. Seperti goa pada umumnya, disini banyak terdapat stalaktit dan stalagmite di mulut-mulut goa. 

Nama Pa-beas-an masih berasal dari bahasa Sunda yang berarti tempat beras. Tidak jauh dari goa Pabeasan, saya melihat beberapa beberapa pemanjat tebing yang tanpa ragu-ragu memanjat semakin tinggi ke puncak tebing. Saya pikir mereka juga seperti saya, membuktikan sesuatu, namun apa, yang jelas berbeda. Mungkin tingkat strees batuan atau yang lain saya tidak tahu.



Kembali lagi soal goa, adanya goa bisa menjadi argumen kedua untuk mendukung pernyataan bahwa Bandung pernah menjadi laut. Karena goa merupakan hasil pelarutan batuan-batuan karbonat, dan bila air mengalir di batuan karbonat dapat melarutkannya sehingga dapat terbentuk stalaktit atau stalagmite.


Berbicara mengenai Bandung dan laut, saya teringat ulasan singkat di Kompas beberapa hari yang lalu. Ternyata menurut cerita yang beredar di masyarakat, dulu Bandung merupakan sebuah danau besar, dan nama Bandung sendiri berasal dari kata bendung. Bendung yang merupakan penggalan dari kata bendungan diambil untuk penamaan kota ini karena Bandung diapit oleh gunung-gunung yang menjadikannya cekungan atau seakan-akan sebuah bendungan.




Tujuan ketiga yakni Stone Garden. Stone garden merupakan 'taman batu' karena di perbukitan ini terdapat hamparan batu yang jumlahnya tiada terhitung. Batu-batu tersebut bukan hanya batu biasa, menurut penuturan interpreter di kegiatan jelajah alam ini batu-batu purba tersebut merupakan koral setelah dilihat dari ciri-cirinya .Bukti keberadaan koral tersebut merupakan bukti terkuat untuk mendukung ‘cerita’ dosen saya. Karena, kita semua tahu asal-usul koral adalah dari laut.




Stone Garden

Sejauh mata memandang, yang saya temukan adalah hamparan batu-batu purba memenuhi Stone Garden, namun ketika mata saya menemukan satu titik di mana titik tersebut sangat berbeda dengan sekitarnya. Titik tersebut hitam dan menggumpal semakin besar menjadi kepulan asap. Sebentar kemudian, di kepala saya juga ikut muncul kepulan hitam, bedanya ini asap keprihatinan.




Asap tersebut merupakan pembakaran batu gamping yang digunakan untuk industry cat tembok, sebagaimana diketahui bahwa batu kapur merupakan salah satu bahan utama  pembuatan cat tembok, karena kandungannya.




Ironi memang, keberadaan alam memang disediakan untuk kemakmuran manusia, tetapi justru manusia (secara egois) ingin menguasai kemakmuran untuk dirinya sendiri. Kontradiksi memang, manusia membutuhkan dan alam menyediakan. Lantas, mengapa tidak mengambil saja?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memang sulit dijawab. Siapa pun yang berusaha menjawab bisa jadi tidak menemukan jawaban yang diharapkan. Atau pihak-pihak yang berada di baliknya akan dengan sangat yakin menjawab bahwa kegiatan penambangan tersebut sangat berguna untuk pembangunan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hati nurani kita ingin teriak bahwa kita masih  ingin tetap hidup bersandingan dengan alam.

 
Perjalanan yang memakan waktu setengah hari itu menunjukkan pada saya bahwa manusia telah dengan sendirinya berusaha menjauh dari alam. Manusia sibuk dengan berbagai kegiatannya tanpa mengetahui manfaat eksistensi alam untuk keberlansungan hidup semua yang hidup di bumi. 



Sepulang dari perjalanan saya lantas menyimpulkan, alam bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tak dapat hidup tanpa alam. Dan satu lagi konklusi penting. Dulu Bandung adalah laut !