Sabtu, 15 Oktober 2016

JARANG MENULIS KARENA JARANG MEMBACA

Jujur, hal yang paling susah saya lakukan adalah konsisten. Iya dalam hal apapun. Jadi excitednya cuma di awal doang abis itu udah ilang aja.

Seperti halnya mengisi blog ini.

Saya udah meniatkan untuk rajin ngisi blog, meskipun ujung ujungnya jadi masuk draft aja. Tapi bagi saya itu ngga apa apa karena yang penting nulis. Eh, ujung ujungnya ngisi sebulan sekali aja udah syukur.

Nah ini ngga tau deh udah  berapa bulan ya saya ngga nengok halaman saya ini, saking lamanya sampai lupa hahaha.

Percaya ngga sih kalau orang yang jarang menulis itu jarang membaca? Ini hanya hipotesis asal-asalan sih, tapi kok kayanya berlaku ya di saya. Ketika saya  sering membaca, saya bisa  menemukan inspirasi baru, jadi kepikiran pengen nulis sesuatu, pokoknya ada aja selintas ide kalau saya membaca. Bisa jadi berhubungan dengan yang saya baca, bisa juga ngga. Intinya jadi tiba tiba punya ide dan punya keinginan nulis.

Nah kalau  jarang baca? Boro-boro nulis, baca aja jarang, ujung ujungnya bingung mau nulis apa, ngga ada ide lah. Kalau kita membaca, entah ya, mungkin cuma saya, seperti mentrigger diri sendiri untuk produktif juga, tidak melulu sebagai pembaca yang pasif. Sebenernya ini pesan buat diri sendiri sih untuk melakukan hal positif seperti menulis, walaupun cuma di blog.

***

Saya inget deh kata kata di pembatas buku dari gagas media (kalau tidak salah ingat)

Reading is hot

Writing is cool



PANDANGAN TENTANG BUKU ANAK-ANAK

Tidak banyak yang mengerti mengapa saya senang membeli plus membaca buku anak-anak. Sebagian ada yang mengira bahwa saya sedang persiapan dalam rangka menjadi ibu suatu hari ini. Itu juga salah satu alasannya, karena saya percaya bahwa apa yang anak baca bisa mempengaruhi perilakunya.


Kesukaan saya terhadap buku anak-anak sebenarnya sudah lama sejak sd dan berlanjut sampai masa kuliah. Dan semakin bertambah ketika saya bekerja di sebuah perusahaan penerbit buku sekolah.
Perusahaan tempat saya berkerja menerbitkan buku dari pre-K hingga perguruan tinggi. Dan menurut saya, proses pembuatan buku paling sulit adalah untuk jenjang pre-K. Setiap proses pembuatan buku memang memiliki tipe kesulitan yang beragam. Misalnya untuk jenjang perguruan tinggi, tingkat kesulitannya berada pada penguasaan materi penulis.


Nahhh, kalau pre-K itu kesulitannya unik. Maksudnya begini, misalnya kita harus bisa memikirkan apa yang dipikirkan anak umur 3-4 tahun, lalu mengonsepnya dan cara menuangkan dalam buku pun harus kreatif. Teman saya waktu itu yang mendapat project pembuatan buku pengenalan menulis untuk anak TK saja mesti bolak balik revisi sama manajer.


Tapi.....seru!


Di situlah seninya membuat buku anak-anak. Memangkas kalimat tidak perlu, memikirkan desain dan gambarnya mau bagaimana, dan memikirkan gimana cara buku tersebut bisa dimengerti oleh anak-anak dan pesan yang ingin kami sampaikan bisa sampai ke mereka.

Sesimpel mungkin!


Yang jelas, waktu membaca buku anak-anak, saya itu sambil mikir apa yang dipikirkan penulis dan apa yang ingin disampaikannya kepada anak yang membacanya.


Sampai saat ini, buku anak-anak favorit saya adalah The Giving Tree (Silverstein) untuk kategori buku cerita dan Seri Brain Quest untuk kategori pengajaran. The Giving Tree itu best banget kata saya. Mungkin saya bisa menghabiskannya dalam seperempat jam. Namun kesan yang ditinggalkn dan pesan yang disampaikan daleeeem banget, ngena banget. Sedangkan yang seri Brain Quest itu buku pengajaran yang menurut saya bisa menggali kreativitas anak pada umurnya.