Kamis, 09 Juni 2016

YAKUSHI IKE PARK MACHIDA


Ada suatu masa, saya sedang ingin menyendiri, pergi ke tempat yang tidak begitu ramai. Ingin pergi yang agak jauh tapi mikir juga biasanya setelah pulang bukannya malah fresh tapi malah capek. Saya searching-searching tempat yang dekat dengan rumah, sekitar Machida. Machida adalah kota tempat saya tinggal, ibaratnya kalau di Indonesia seperti Tangerang, Bekasi, atau Bogor.

Setelah googling, eh ternyata banyak ya taman di Machida. Saya tadinya tidak mengira di Machida ada tempat yang bisa dikunjungi selain distrik di stasiun Machida.

Saya pergi ke Yakushi Ike Park, lokasinya sekitar satu jam perjalanan dari rumah. Saat itu saya pergi sekitar jam 2 dan kira-kira tiba jam 3 di taman. Saya naik kereta ke stasiun Machida lalu ganti naik bus nomor 55 dari halte 21.

Bisa dibilang ini adalah kali pertama bagi saya muter-muter Machida. Wah, bagus juga ternyata kota Machida ini, dibalik ke-modern-annya, tetap ada sisi Jepang kuno yang masih terasa. Tak lama setelah naik, bus memasuki tempat yang super hijau, seperti masuk ke hutan. Kalau boleh saya bilang mirip dengan daerah siliwangi di Bandung, sejauh mata memandang, hijau dimana-mana, sejuk dan adem.

Beneran deh tempat ini mengingatkan saya pada Bandung, khususnya Tahura (Taman Hutan Raya). Tidak ada biaya masuk ke taman ini, dan yang paling saya suka adalah ngga begitu ramai. Mungkin karena ngga begitu terkenal di kalangan wisatawan asing.  Suara yamg terdengar hanya dari gesekan angin dan dedaunan serta gemericik air yang jernih.

Selain danau dan jembatan khas taman Jepang, tidak ada yang menonjol dari taman ini. Saya tidak peduli, karena sunyilah yang saya cari. Jadi saya berjalan-jalan mengelilingi taman sambil menghirup udara segar.

Satu waktu, seorang anak berumur sekitar 2 tahunan tiba-tiba tersenyum ke arah saya dan mengulurkan tangannya, saya bingung, antara takut menyambut tangannya namun ingin. Maklum, di Jepang interaksi dengan orang asing bukan hal yang umum. Tak apalah, pikir saya. Kemudian saya membalas uluran tangannya dan tersenyum balik. Dia mengulurkan tanganya ulang dan saya membalasnya dengan tepukan kecil. Saya tahu, orangtua anak itu mengawasi sambil ikut tersenyum kepada saya. 


Di taman ini saya menemukan kincir trandisional yang masih berfungsi. Ada pula beberapa penjual makanan dan penjaga taman yang sudah tua. Meskipun pengunjung taman ini tak terlalu banyak, tapi wajah mereka tetap tulus melayani siapa saja yang datang.

Jembatan dan danau seakan menjadi pusat dari taman ini dan dikelilingi pohon-pohon perdu khas taman Jepang. Sebelumnya, saya melihat di internet ada kuil kecil di taman ini dan maksud hati ingin ke sana, namun kaki ini sudah lelah melangkah dan ngga nemu-nemu, malah ketemunya anak-anak yang kotor-kotoran nyari kecebong di rawa. Saya jadi teringat di dekat rumah, setiap lebaran, sepupu-sepupu saya yang tinggal di kota selalu antusias untuk menangkap kecebong atau kepiting kecil. Mungkin bagi mereka seperti menangkap harta karun, atau karena hal itu bukan hal yang mereka temui setiap hari? Sore itu, kegiatan menangkap kecebong menjadi lebih penting daripada bermain game di telepon genggam atau menonton televisi.

Saya duduk di bangku kayu dekat rawa, mengamati orangtua dan anaknya yang seakan berlomba mengumpulkan kecebong sebanyak-banyaknya. Beberapa dari mereka yang beruntung mendapat udang air tawar di rawa itu. 

Hari semakin sore, dan rimbunnya pepohonan membuat tempat ini cepat gelap, saya berjalan pulang, menunggu bus 55 di halte terdekat. Omong-omong di dekat taman ini juga ad ataman tupai (squirrel). Tinggal nyebrang aja. Saya tak sempat mampir, dan memang tujuan awalnya ke sini saja. Mungkin lain kali bisa mampir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar