Rabu, 23 Desember 2015

BOOK REVIEW: MATA YANG ENAK DIPANDANG

Buku karya Ahmad Tohari ini berisi 15 kumpulan cerpen yang telah dimuat di media massa pada tahun 1983 – 1997. Lewat buku ini, Ahmad Tohari mampu menyentuh pembacanya sampai ke batin. 
Saya rasa, bukan hanya karena nama besar penulisnya, namun juga tulisannya yang memang pantas untuk diapresiasi, buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Kind Looking Eyes dan sempat mengikuti Frankfurt Book Fair
Cerpen-cerpen yang dimuat di buku ini memiliki benang merah yaitu tentang kehidupan masyarakat kecil dan lika-likunya, dan pembaca akan dibuat sadar, berempati, dibanding sekadar menjustifikasi. Cerpen-cerpen yang ditampilkan juga penuh ironi pada kehidupan social. 
Ahmad tohari bercerita seperti mengenal tokohnya sangat dekat, begitu pula ahmad tohari membawa pembacanya seolah-olah mengenal tokohnya dan memunculkan empati.
Pada buku ini, Ahmad Tohari bercerita dengan gaya bahasa yang langsung dan unik, tanpa perlu bertele-tele dan bahasa yang mendayu-dayu. Dan justru dengan demikian Ahmad Tohari  mampu menyentuh pembaca langsung ke dalam hatinya. Penuturannya pun lebih banyak mengambil latar suasana hati para tokoh-tokohnya dibandingkan tempat. Di samping itu, Ahmad Tohari, banyak memunculkan ketimpangan antara dua hal, yang tidak mudah bagi kita untuk memihak salah dan benar, karena salah dan benar terkadang berbeda terlalu tipis dan tergantung dari sudut pandang mana kita melihat, seperti berikut.
Ya ,rupanya jauh di sana, ada calon pengantin yang dapat keberuntungan pada saat-saat terakhir. Karena kakeknya rela mati kena tumor demi mempertahankan harta gantungan. Calon pengantin itu pun mendapat biaya untuk menikah. Semoga diberkati. 
Itulah sepenggal kalimat terakhir dalam cerpen Harta Gantungan. Di sana ada ironi yang hendak ditampilkan oleh Ahmad Tohari. Seorang kakek yang tidak ingin berobat karena takut saat ia mati tidak memiliki harta gantungan untuk menguburkan dan mengadakan selamatan untuk dirinya. Namun saat ia mati, justru ada orang yang bersyukur karena mendapat harta warisan dari kakek tersebut. Dan itulah yang menjadi ciri khas cerpen-cerpen lain dalam buku ini, hampir semuanya senada. Sayang, pada Rusmi ingin Pulang, konflik yang ingin ditampilkan gagal dan terkesan datar.
Lebih dari itu semua, saya terpikat oleh Mata yang Enak Dipandang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar